Showing posts with label SEPUTAR NASRANI. Show all posts
Showing posts with label SEPUTAR NASRANI. Show all posts

Friday, February 10, 2012

KISAH PENDETA NASRANI INSYAF


Ibrahim al-Khawas ialah seorang wali Allah yang terkenal keramat dan dimakbulkan segala doanya oleh Tuhan. Beliau pernah menceritakan suatu peristiwa yang pernah dialaminya. Katanya, "Menurut kebiasaanku, aku keluar menziarahi Mekah tanpa kenderaan dan kafilah. Pada suatu kali, tiba-tiba aku tersesat jalan dan kemudian aku berhadapan dengan seorang rahib Nasrani (Pendita Kristian)."
Bila dia melihat aku dia pun berkata, "Wahai rahib Muslim, bolehkah aku bersahabat denganmu?"

Ibrahim segera menjawab, "Ya, tidaklah aku akan menghalangi kehendakmu itu."
Maka berjalanlah Ibrahim bersama dengannya selama tiga hari tanpa meminta makanan sehinggalah rahib itu menyatakan rasa laparnya kepadaku, katanya, "Tiadalah ingin aku memberitakan kepadamu bahwa aku telah menderita kelaparan. Kerana itu berilah aku sesuatu makanan yang ada padamu."
Mendengar permintaan rahib itu, lantas Ibrahim pun bermohon kepada Allah dengan berkata, "Wahai Tuhanku, Pemimpinku, Pemerintahku, janganlah engkau memalukan aku di hadapan seteru engkau ini."

Belum pun habis Ibrahim berdoa, tiba-tiba turunlah setalam hidangan dari langit berisi dua keping roti, air minuman, daging masak dan tamar. Maka mereka pun makan dan minum bersama dengan seronok sekali.
"Sesudah itu aku pun meneruskan perjalananku. Sesudah tiga hari tiada makanan dan minuman, maka di kala pagi, aku pun berkata kepada rahib itu, "Hai rahib Nasrani, berikanlah ke mari sesuatu makanan yang ada kamu. Rahib itu menghadap kepada Allah, tiba-tiba turun setalam hidangan dari langit seperti yang diturunkan kepadaku dulu."

Sambung Ibrahim lagi, "Tatkala aku melihat yang demikian, maka aku pun berkata kepada rahib itu - Demi kemuliaan dan ketinggian Allah, tiadalah aku makan sehingga engkau memberitahukan (hal ini) kepadaku."
Jawab rahib itu, "Hai Ibrahim, tatkala aku bersahabat denganmu, maka jatuhlah telekan makrifah (pengenalan) engkau kepadaku, lalu aku memeluk agama engkau. Sesungguhnya aku telah membuang-buang masa di dalam kesesatan dan sekarang aku telah mendekati Allah dan berpegang kepada-Nya. Dengan kemuliaan engkau, tiadalah dia memalukan aku. Maka terjadilah kejadian yang engkau lihat sekarang ini. Aku telah mengucapkan seperti ucapanmu (kalimah syahadah)."

"Maka suka citalah aku setelah mendengar jawapan rahib itu. Kemudian aku pun meneruskan perjalanan sehingga sampai ke Mekah yang mulia. Setelah kami mengerjakan haji, maka kami tinggal dua tiga hari lagi di tanah suci itu. Suatu ketika, rahib itu tiada kelihatan olehku, lalu aku mencarinya di masjidil haram, tiba-tiba aku mendapati dia sedang bersembahyang di sisi Kaabah."
Setelah selesai rahib itu bersembahyang maka dia pun berkata, "Hai Ibrahim, sesungguhnya telah hampir perjumpaanku dengan Allah, maka peliharalah kamu akan persahabatan dan persausaraanku denganmu."

Sebaik saja dia berkata begitu, tiba-tiba dia menghembuskan nafasnya yang terakhir iaitu pulang ke rahmatullah. Seterusnya Ibrahim menceritakan, "Maka aku berasa amat dukacita di atas pemergiannya itu. Aku segera menguruskan hal-hal pemandian, kapan dan pengebumiannya. Apabila malam aku bermimpi melihat rahib itu dalam keadaan yang begitu cantik sekali tubuhnya dihiasi dengan pakaian sutera yang indah."
Melihatkan itu, Ibrahim pun terus bertanya, "Bukankah engkau ini sahabat aku kelmarin, apakah yang telah dilakukan oleh Allah terhadap engkau?"

Dia menjawab, "Aku berjumpa dengan Allah dengan dosa yang banyak, tetapi dimaafkan dan diampunkan-Nya semua itu kerana aku bersangka baik (zanku) kepada-Nya dan Dia menjadikan aku seolah-olah bersahabat dengan engkau di dunia dan berhampiran dengan engkau di akhirat."
Begitulah persahabatan di antara dua orang yang berpengetahuan dan beragama itu akan memperolehi hasil yang baik dan memuaskan. Walaupun salah seorang dahulunya beragama lain, tetapi berkat keikhlasan dan kebaktian kepada Allah, maka dia ditarik kepada Islam dan mengalami ajaran-ajarannya."

Friday, November 4, 2011

YESUS TIDAK MATI UNTUK MENEBUS DOSA SAYA



Benarkah Yesus mati di tiang salib untuk penebusan dosa?John S. Spong, seorang Uskup Episkopal dari Newark, USA, menulis 12 tesis berjudulSERUAN UNTUK REFORMASI BARU. Dalam tesisnya yang ke-6 ia mengungkapkan bahwa:YESUS TIDAK MATI UNTUK MENEBUS DOSA.Berikut adalah ulasan Uskup John S. Spong tentang tesisnya tersebut:"Paham kayu salib sebagai pengorbanan bagi dosa-dosa dunia adalah ide barbar yang didasarkan pada suatu konsep primitif tentang Tuhan, harus ditolak!" Pada bulan Mei 1998, ketika saya menayangkan di Internet Duabelas Tesis untuk diperdebatkan, yang diambil dari buku saya "Why Christianity Must Change or Die", saya tidak mengira betapa hebat responsnya. Perdebatan itu disambut dan dikutuk, diikuti dan dihindari oleh orang tak terhitung banyaknya. Tesis-tesis itu dikhotbahkan secara positif dan secara negatif di keuskupan ini, di Katedral St. Paul di London, di Australia, Kanada, Afrika Selatan dan Selandia Baru. Respons paling emosional adalah terhadap Tesis No.6, yang berkaitan dengan penafsiran terhadap kayu salib dan peranan Yesus dalam drama keselamatan, di mana saya mempertanyakan kebenaran kalimat:
"Yesus mati untuk dosa-dosaku."Kalimat itu begitu sering digunakan dalam sejarah Kristiani sehingga menjadi seperti mantra. Maksudnya, diulang-ulang tanpa penjelasan, seolah-olah maknanya sudah jelas dengan sendirinya. Tidak boleh dipertanyakan atau diperdebatkan. Sekadar dikemukakan berulang-ulang tanpa henti. Perayaan Ekaristi didasarkan padanya; banyak lagu-lagu pujian kita mencerminkannya. Namun, bagi alam pikiran modern, jika dianalisis, kalimat ini hampir tidak ada artinya sama sekali. Kadang-kadang kalimat keramat ini diperluas hingga mencakup apa yang hanya dapat digambarkan sebagai fetisisme terhadap darah yang ditumpahkan Yesus di kayu salib.Kuasa yang luar biasa telah dikenakan kepada darah "suci" itu. Orang Kristen sampai bicara tentang efek penyucian dari siraman darah itu. Sebuah lagu pujian yang saya alami dua kali selama Minggu Suci menyatakan "God on Thee Has Bled" (Tuhan Menumpahkan Darah Atasmu). Kematian Yesus dikatakan merupakan sesuatu yang dituntut oleh Tuhan: suatu tebusan, suatu kurban yang dipanjatkan kepada Tuhan, suatu pembayaran yang dituntut oleh Tuhan bagi dosa-dosa dunia, harga yang harus dibayar untuk memperoleh penebusan, yang adalah pengalaman bersatu dengan Tuhan. Dalam penelitian saya, saya menyimpulkan bahwa bahasa ini --"Yesus mati demi dosa-dosaku"-- adalah distorsi penuh kekerasan dari makna Yesus.Paham itu memberikan kepada saya suatu Tuhan yang sadistis dan haus darah. Suatu Tuhan yang kehendaknya harus dipenuhi dengan pengurbanan manusia bukanlah Tuhan yang kepadanya hati saya tergerak untuk memuja. Itu paham yang sangat buruk. Lagipula, konsep ini menjadi begitu normatif di dalam pengajaran iman kita, sehingga banyak orang merasa, seandainya paham tentang "karya penebusan" Yesus ini tidak diterima, maka tidak ada lagi yang tersisa dari Kristianitas.Namun, saya yakin, justru kebalikannya yang benar. Bagi saya jelas, kalau kita tidak mengekspos kualitas barbar dari tafsiran kuno terhadap makna kematian Yesus dan terhadap Tuhan yang dikatakan menuntutnya, dan menghapuskan keburukan spiritual ini dari kehidupan Judeo-Kristiani, maka Kristianitas tidak punya masa depan. Saya tidak percaya, manusia modern akan tertarik kepada suatu Tuhan yang kehendaknya harus dipenuhi dengan kurban manusia Yesus di kayu salib. Jika Kristianitas menuntut paham tentang makna kematian Yesus ini, saya tidak akan menganut iman ini lagi.Tetapi oleh karena sifatnya yang telah tertanam secara mendalam, perlawanan pasif saja tidak pernah akan efektif. Alih-alih, ide ini harus ditumbangkan secara agresif; kalau tidak, tidak akan ada sesuatu yang baru dan lebih menarik akan pernah muncul. Itulah sebabnya, saya rasa Gereja Kristen pada dewasa ini membutuhkan suatu reformasi yang baru dan kuat yang tidak boleh berhenti sampai semua doktrin inti yang paling dasar dari iman Kristiani dikaji ulang dan dirumuskan kembali. Reformasi pada abad ke-16 tidak sampai pada tugas ini, dan secara retrospektif, hanya membuat perubahan-perubahan kosmetik belaka.Reformasi baru ini harus mengguncangkan dasar-dasar pemikiran Kristiani itu sendiri. Mau tidak mau hal itu akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan besar di kalangan religius konservatif, dan akan menimbulkan amarah yang selalu muncul bila suatu ancaman terakhir dilancarkan terhadap suatu sistem kepercayaan yang sedang sekarat. Tetapi bagaimana pun juga kita harus menyambutnya, karena ia menyajikan satu-satunya kesempatan bagi iman nenek-moyang kita untuk tetap hidup menjadi iman anak-cucu kita.Paham tentang kematian Yesus sebagai kurban bagi dosa-dosa dunia, menurut pendapat saya, mewakili teologi keliru yang didesain untuk mengakomodasikan antropologi keliru yang menjadi dasarnya. Kehidupan manusia bukanlah diciptakan sebagai sesuatu yang baik yang kemudian jatuh ke dalam dosa, dan mengharuskan penyelamatan ilahi yang berpuncak di kayu salib di Kalvari, sebagaimana dikemukakan oleh mitos Kristiani tradisional. Alih-alih, kehidupan manusia telah berkembang melalui jutaan tahun sejarah evolusioner, yang tidak saja menghasilkan manusia yang tidak lengkap, melainkan juga terdistorsi oleh perjuangan untuk mempertahankan diri (survival).Kita bukanlah malaikat yang jatuh, melainkan makhluk yang muncul dan berkembang. Kita adalah suatu karya yang tengah berlangsung, yang terus-menerus menjadi korban hakikat kemanusiaan kita yang belum tuntas. Oleh karena itu, kita tidak dapat diselamatkan dengan suatu kurban kematian dari seorang yang memanjatkan persembahan sempurna kepada suatu Ilah yang marah, kurban yang didesain untuk mengembalikan kita kepada sesuatu yang tidak pernah kita alami. Alih-alih, kita harus terpanggil oleh rahmat cinta untuk berjalan menuju taraf kesadaran lebih tinggi, suatu kemanusiaan yang baru dan lebih lengkap.Sosok Juru Selamat bagi kita tidak mungkin seorang yang membayar harga dosa-dosa kehidupan kita. Alih-alih, sosok Juru Selamat bagi pemahaman kita atas kemanusiaan haruslah seorang yang mampu memberdayakan kita untuk berkembang mengatasi keterbatasan diri kita, untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang mendistorsikan, dari prejudis-prejudis kita yang membutakan dan stereotipe-stereotipe kita yang mematikan, dan membawa kita ke suatu tempat yang di situ kita menemukan kemerdekaan untuk memberikan hidup kita dalam cinta kepada orang lain.Pertanyaan teologis terakhir yang mendorong reformasi baru ini adalah: apakah kita mampu menanggalkan dari Yesus penjelasan interpretatif tradisionalnya tanpa menghilangkan pengalaman yang dimiliki manusia tentang Yesus ini, yang membuat mereka berseru bahwa di dalam dia kesucian Tuhan telah dialami.Untuk melakukan ini, kita harus mengesampingkan kerangka mitologis yang telah memerangkap Yesus. Kelahiran dari perawan dan kenaikan kosmik harus dilihat sebagai sekadar bahasa interpretatif pra-modern. Berjalan di atas air dan memberi makan 5000 orang dengan lima potong roti tidak mungkin merupakan kisah nyata. Kebangkitan kembali yang dipahami sebagai resusitasi fisikal harus dilihat sebagai tradisi yang berkembang belakangan.Tetapi sekali kerangka mitologis ini dihilangkan, Yesus tidak lenyap atau menjadi sekadar guru yang baik, seperti yang ditakutkan oleh banyak orang. Alih-alih, malah muncul suatu sosok Yesus sebagai saluran transendensi, sosok manusia yang menyatu dengan sumber hidup, pengungkap sumber cinta, suatu makhluk baru yang membuat gamblang Landasan Semua Keberadaan (The Ground of All Being). Ia adalah suatu kehadiran Ilahi, bukan suatu manusia-ilahi mitologis; suatu manusia yang lengkap, yang menjadi kehidupan yang melaluinya kuasa sepenuhnya dari realitas keilahian Tuhan dapat muncul dalam sejarah manusia.Alih-alih melihat kepada mukjizat-mukjizat yang ditafsirkan secara harfiah, kita harus mulai melihat kepada sosok manusia yang keutuhannya memanggil murid-muridnya untuk melampaui batas-batas identitas kesukuan mereka.Orang Yahudi, yang berpikir bahwa orang non-Yahudi (Gentiles) tidak pantas dianggap sebagai manusia yang boleh diakrabi dalam relasi, didorong oleh kenyataan sosok Yesus untuk pergi ke dunia non-Yahudi itu untuk memberitakan Injil, dan mereka melakukannya. Kaum agama yang ketat yang yakin bahwa kaum Samaritan, yang menjadi sasaran prejudis mereka, ditolak oleh Tuhan dan oleh karena itu pantas ditolak oleh mereka, diubah oleh Yesus.Ia mengajarkan kepada mereka, bahwa bila kaum Samaritan memenuhi panggilan Taurat untuk memberikan kasih sayang dan mempedulikan orang, mereka adalah anak-anak Ibrahim yang lebih sempurna daripada seorang ahli agama dan seorang Levi yang tega untuk melewati korban kehidupan di sisi jalan. Orang yang berpegang teguh pada aturan-aturan mana yang halal dan mana yang haram harus berhadapan dengan Yesus yang memeluk penderita kusta, membiarkan sentuhan perempuan yang sedang haid, dan menolak menghakimi orang yang dituduh berzina.Tuhan memang ada di dalam diri Kristus ini. Itulah pengalaman yang menyeruak dan perlu dijelaskan. Namun penjelasan historis telah dikemas dalam asumsi-asumsi yang tidak lagi bisa kita terima. Asumsi-asumsi ini dibentuk oleh suatu pandangan-dunia yang tidak lagi kita anut. Mereka mencerminkan pemahaman akan realitas yang tidak lagi kita miliki dan suatu tradisi pemujaan yang asing bagi tradisi kita sendiri.Orang Kristen-Yahudi abad pertama memahami kematian Yesus menurut analogi domba Paskah, yang disembelih untuk mematahkan kuasa maut. Kemudian mereka memahami dia sebagai domba baru dari Yom Kippur, yang dikurbankan untuk menebus dosa-dosa dunia. Mereka menganyam di seputar Yesus simbol-simbol liturgis kuno, tetapi tidak satu pun dari simbol-simbol ini akan efektif bagi kita.Sebaliknya, mereka malah mendorong orang untuk menjauh. Oleh karena itu, kita harus bersiap-siap untuk mengesampingkannya, untuk memperlakukannya sebagai terbatas, dan yang pada akhirnya malah menyesatkan. Yesus tidak mati untuk dosa-dosa kita! Yesus bukan kurban yang dipanjatkan kepada Tuhan untuk mengatasi kejatuhan yang tidak pernah terjadi.Kita adalah makhluk yang muncul naik ke atas, bukan makhluk yang jatuh. Yesus bukan perwujudan dari ilah teistik yang mengunjungi planit ini dengan menyaru sebagai manusia selama 30 tahun. Yesus adalah manusia, yang di dalamnya Tuhan yang bersemayam di lubuk dasar kehidupan, muncul dalam sejarah manusia dengan cara baru yang dramatis dan lengkap.Tugas bagi reformasi baru adalah membebaskan Yesus dari bahan-bahan yang mendistorsikan ini dan menampilkannya kembali dalam gambaran-gambaran baru. Tetapi kita tidak boleh kehilangan pengalaman ini. Tuhan ada di dalam Kristus. Kuasa kehidupan yang transenden, pancuran cinta yang abadi, Landasan Semua Keberadaan (Ground of All Being) yang tak terperikan yang meletup dalam kemanusiaannya yang utuh dan merdeka untuk memanggil kita ke dalam suatu kesadaran baru.Panggilan Kristus adalah panggilan untuk berjalan mengatasi keterbatasan evolusioner yang ditetapkan oleh upaya untuk mempertahankan diri. Roh Kudus Tuhan yang secara mencolok hadir di dalam Yesus --sehingga orang bilang Roh Kudus-lah yang mengandungnya-- tetap merupakan rahmatnya bagi kita masing-masing.Kita yang ada di dalam Kristus dapat --seperti Kristus-- menjadi pendukung Tuhan di lingkungan kita, inkarnasi- inkarnasi baru dari kehadiran ilahi yang abadi. Kita dapat mengungkapkan sumber hidup dan cinta, yang memanggil kita dan orang lain ke dalam kepenuhan keberadaan kita. Inilah jalan yang melaluinya kita bisa bicara tentang Kristus dalam zaman kita, dan kemarilah reformasi yang akan datang dapat membawa kita. Bagi Gereja Kristen, melekat pada rumusan-rumusan harfiah dari masa lampau berarti tidak kurang dari menempuh jalan kematian. Melepaskan rumusan-rumusan itu untuk memasuki pengalaman Kristus secara baru adalah harapan untuk masa depan.Saya berdoa untuk tibanya reformasi ini, sekalipun saya menyadari bahwa bagi banyak orang ini akan tampak sebagai penghancuran apa yang mereka pikir sebagai iman Kristiani. Kita tidak boleh takut akan itu, oleh karena ia akan membawa kita kepada pembaruan dan kebangkitan kembali dan memberi kita kemampuan untuk menyanyikan kidung Tuhan dalam milenium ketiga.***

KETUHANAN YESUS MENURUT IMAM AL-GHAZALI


Imam al Ghazali adalah ulama yang sangat terkenal di zamannya sampai zaman sekarang ini. Nama lengkapnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Thusi Asy-Syafii (pengikut mazhab Syaf’i). Al Ghazali lahir 450 H/1058 M dan wafat pada tahun 505H/1111M dalam usia 55 tahun.
Karyanya tidak kurang dari 200 buku, dan di antara karyanya yang sangat monumental adalah “Ihya `Ulumiddin” (Revival of Religious Sciences). Ia dikenal sebagai seorang filosof, ahli tasawwuf, ahli fikih, dan juga bisa dikatakan sebagai seorang Kristolog. Ini terbukti lewat karyanya al-Raddul Jamil, yang ditulisnya secara serius dan mendalam. Dalam bukunya, Al Ghazali memberikan kritik-kritik terhadap kepercayaan kaum Nasrani yang bertaklid kepada akidah pendahulunya, yang keliru.
Kata al Ghazali dalam mukaddimah bukunya: “Aku melihat pembahasan-pembahasan orang Nasrani tentang akidah mereka memiliki pondasi yang lemah. Orang Nasrani menganggap agama mereka adalah syariat yang tidak bisa di takwil” Imam al-Ghazali juga berpendapat bahwa orang Nasrani taklid kepada para filosof dalam soal keimanan. Misalnya dalam masalah al-ittihad, yaitu menyatunya zat Allah dengan zat Yesus. Al Ghazali membantah teori al-ittihad kaum Nasrani. Menurutnya, anggapan bahwa Isa AS mempunyai keterkaitan dengan Tuhan seperti keterkaitan jiwa dengan badan, kemudian dengan keterkaitan ini terjadi hakikat ketiga yang berbeda dengan dua hakikat tadi, adalah keliru.Menurutnya, bergabungnya dua zat dan dua sifat (isytirak), kemudian menjadi hakikat lain yang berbeda adalah hal yang mustahil yang tidak diterima akal. Dalam pandangan al Ghazali, teori alittihad ini justru membuktikan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Al Ghazali menggunakan analogi mantik atau logika. Ia berkata, "Ketika Yesus disalib, bukankah yang disalib adalah Tuhan, apakah mungkin Tuhan disalib? Jadi, Yesus bukanlah Tuhan!"Penjelasannya dapat dilihat pada surat an-Nisa ayat 157: “Dan tidaklah mereka membunuhnya (Isa AS) dan tidak juga mereka menyalibnya akan tetapi disamarkan kepada mereka”. Selain al-ittihad, masalah al-hulul tak kalah pentingnya. Menurut Al-Ghazali, makna al-hulul, artinya zat Allah menempati setiap makhluk, sebenarnya dimaksudkan sebagai makna majaz atau metafora. Dan itu digunakan sebagai perumpamaan seperti kata “Bapa” dan “Anak”. Misalnya seperti dalam Injil Yohannes pasal 14 ayat 10: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku. Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dia lah yang melakukan pekerjaanNya.” Dalam melakukan kajiannya, Imam al Ghazali merujuk kepada Bibel kaum Nasrani. Dalam al-Raddul Jamil, al Ghazali mencantumkan enam teks Bibel yang menurutnya menafikan ketuhanan Yesus, dan dikuatkan dengan teks-teks Bibel lainnya sebagai tafsiran teks-teks yang enam tadi. Di antara teks yang dikritisi oleh al Ghazali adalah Injil Yohannes pasal 10 ayat 30-36;“Aku dan Bapa adalah satu. Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: “banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-ku yang kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari aku?" Jawab orang-orang Yahudi itu: “bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari engkau, melainkan karena engkau menghujat Allah dan karena engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan dirimu dengan Allah. Kata Yesus kepada mereka: “tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: kamu adalah Allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut Allah ­ sedangkan kitab suci tidak dapat dibatalkan, masihkah kamu berkata kepada dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia.” (Teks dikutip dari Bibel terbitan Lembaga Al-kitab Indonesia; Jakarta 2008.)
Teks ini, menurut al Ghazali, menerangkan masalah al-ittihad (menyatunya Allah dengan hamba-Nya). Orang Yahudi mengingkari perkataan Yesus “aku dan Bapa adalah satu”. Al Ghazali berpendapat, perkataan Yesus, Isa AS “.. aku dan Bapa adalah satu” adalah makna metafora. Al Ghazali mengkiaskannya seperti yang terdapat dalam hadits Qudsi, dimana Allah berfirman: “Tidaklah mendekatkan kepadaKu orang-orang yang mendekatkan diri dengan yang lebih utama dari pada melakukan yang Aku fardhukan kepada mereka. Kemudian tidaklah seorang hamba terus mendekatkan diri kepadaKu dengan hal-hal yang sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengaran yang ia mendengar dengannya, penglihatan yang ia melihat dengannya, lisannya yang ia berbicara dengannya dan tangannya yang ia memukul dengannnya.” Menurut Al-Ghazali, adalah mustahil Sang Pencipta menempati indra-indra tersebut atau Allah adalah salah satu dari indra-indra tersebut. Akan tetapi seorang hamba ketika bersungguh-sungguh dalam taat kepada Allah, maka Allah akan memberikannya kemampuan dan pertolongan yang ia mampu dengan keduanya untuk berbicara dengan lisan-Nya, memukul dengan tangan-Nya, dan lain-lainnya. Makna metafora dalam teks Bibel dan hadis Qudsi itulah yang dimaksudkan bersatunya manusia dengan Tuhan, bukan arti harfiahnya.Demikianlah, di abad ke-12 M, Imam al Ghazali telah melalukan kajian yang serius tantang agama-agama selain Islam. Kajian ini tentu saja sesuatu yang jauh melampaui zamannya. Kritiknya terhadap konsep Ketuhanan Yesus jelas didasari pada keyakinannya sebagai Muslim, berdasarkan penjelasan Alquran. Al-Ghazali bersifat seobjektif mungkin saat meneliti fakta tentang konsep kaum Kristen soal Ketuhanan Yesus. Tapi, pada saat yang sama, dia juga tidak melepaskan posisinya sebagai Muslim saat mengkaji agama-agama.